Sejarah Awal Teori Pembentukan Tata Surya
Keingin-tahuan manusia tentang bagaimana Tata Surya terbentuk, bagaimana objek-objek didalamnya bergerak dan berinteraksi serta bagaimana gaya yang bekerja mengatur semua gerakan tersebut, telah mencuat, jauh sebelum Masehi. Berbagai penelitian, pengamatan dan perhitungan telah dilakukan untuk mengetahui semua rahasia dibalik Tata Surya.
Pengamatan terhadap tata surya, pertama kali dilakukan oleh bangsa China dan Asia Tengah, terutama berkaitan dengan pengaruhnya terhadap navigasi dan pertanian. Para pengamat Yunani menemukan bahwa selain objek-objek yang terlihat tetap di langit, tampak juga objek-objek yang mengembara dan disebut sebagai planet. Orang-orang Yunani saat itu menyadari bahwa Matahari, Bumi, dan Planet merupakan bagian dari sistem yang berbeda. Awalnya mereka menduga bahwa Bumi dan Matahari berbentuk pipih, tapi Phytagoras (572-492 BC) menyangkal dan menyatakan bahwa semua benda langit berbentuk bola (bundar).
Sampai dengan tahun 1960, perkembangan teori pembentukan Tata Surya bisa dibagi dalam dua kelompok besar yakni masa sebelum Newton dan masa sesudah Newton.
Permulaan Perhitungan Ilmiah
Upaya untukmemenuhi keingin-tahuan manusia tentang alam semesta ini, untuk pertama kalinya diwujudkan oleh Aristachrus dari Samos (310-230 BC) dengan adanya upaya untuk menghitung sudut antara bumi, bulan dan matahari secara ilmiah. Selain itu, ia juga mencoba mencari perbandingan jarak dari Bumi-Matahari, dan Bumi-Bulan. Aristachrus dikenal sebagai orang pertama yang menyimpulkan bahwa Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam lintasan berbentuk lingkaran dan ini menjadi titik awal teori Heliosentrik. Jadi sebenarnya teori heliosentrik bukan teori yang baru muncul di masa Copernicus. Namun jauh sebelum itu, Aristrachrus sudah meletakkan dasar bagi teori heliosentris tersebut.
Pada era Alexandria, Eratoshenes (276-195 BC) dari Yunani berhasil menemukan cara mengukur besar Bumi, dengan cara mengukur panjang bayangan dari kolom Alexandria dan Syene. Ia menyimpulkan, perbedaan lintang keduanya merupakan 2% dari keseluruhan revolusi dan hasil perhitungannya ternyata memiliki perbedaan sebesar 13% dari hasil yang ada saat ini.
Ptolemy dan Teori Geosentrik
Meskipun sebelumnya Aristachrus telah menyimpulkan bahwa Bumi bergerak mengelilingi Matahari, tetapi Ptolemy (c 150AD) justru memberikan penyataan yang bertentangan, dengan menyatakan bahwa semua objek bergerak relatif terhadap bumi. Dan teori ini dipercaya selama hampir 1400 tahun. Tapi teori geosentrik ini mempunyai kelemahan, yaitu Matahari dan Bulan bergerak dalam jejak lingkaran mengitari Bumi, sementara planet bergerak tidak teratur dalam serangkaian simpul ke arah timur. Untuk mengatasi masalah ini, Ptolemy mengajukan dua komponen gerak. Yang pertama, gerak dalam orbit lingkaran yang seragam dengan periode satu tahun, pada titik yang disebut deferent. Gerak yang kedua disebut epycycle, yaitu gerak seragam dalam lintasan lingkaran yang berpusat pada deferent.
Teori heliosentrik dan gereja
Nicolaus Copernicus (1473-1543) merupakan orang pertama yang secara terang-terangan menyatakan bahwa Matahari merupakan pusat sistem Tata Surya, dan Bumi bergerak mengeliinginya dalam orbit berbentuk lingkaran. Meskipun Copernicus mengetahui adanya indikasi penyimpangan kecepatan sudut orbit planet-planet, namun ia tetap mempertahankan pendapatnya bahwa orbit planet berbentuk lingkaran, dengan menyatakan bahwa orbitnya tidak kosentrik. Teori heliosentrik ini disampaikan Copernicus dalam publikasinya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium kepada Paus Pope III dan diterima oleh gereja.
Tapi setelah kematian Copernicus, pandangan gereja berubah, ketika pada akhir abad ke-16 filsuf Italy, Giordano Bruno, menyatakan bahwa semua bintang mirip dengan Matahari dan masing-masing memiliki sistem planetnya yang dihuni oleh jenis manusia yang berbeda. Pandangan inilah yang menyebabkan ia dibakar dan teori Heliosentrik dianggap berbahaya karena bertentangan dengan pandangan gereja yang menganggap manusialah yang menjadi sentral di alam semesta.
Lahirnya Hukum Kepler
Walaupun Copernicus telah menerbitkan tulisannya tentang Teori Heliosentrik, tidak semua orang setuju dengannya. Salah satunya, Tycho Brahe (1546-1601) dari Denmark yang mendukung teori matahari dan bulan mengelilingi bumi sementara planet lainnya mengelilingi matahari. Tahun 1576, Brahe membangun sebuah observatorium di pulau Hven, di laut Baltic dan melakukan penelitian di sana sampai kemudian ia pindah ke Prague pada tahun 1596.
Di Prague, Brahe menghabiskan sisa hidupnya, menyelesaikan tabel gerak planet dengan bantuan asistennya Johannes Kepler (1571-1630). Setelah kematian Brahe, Kepler menelaah data yang ditinggalkan Brahe dan menemukan bahwa orbit planet tidak sirkular melainkan elips.
Kepler kemudian mengeluarkan tiga hukum gerak orbit yang dikenal sampai saat ini yaitu ;
- Planet bergerak dalam orbit ellips mengelilingi matahari sebagai pusat sistem.
- Radius vektor menyapu luas yang sama dalam interval waktu yang sama.
- Kuadrat kala edar planet mengelilingi matahari sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata dari matahari.
Kepler menuliskan karyanya dalam sejumlah buku, diantaranya adalah Epitome of The Copernican AstronomyIndex. Librorum Prohibitorum yang merupakan buku terlarang bagi umat Katolik. Dalam daftar ini juga terdapat publikasi Copernicus, De Revolutionibus Orbium Coelestium.
Awal mula dipakainya teleskop
Pada tahun 1608, teleskop dibuat oleh Galileo (1562-1642). Galileo merupakan seorang professor matematika di Pisa yang tertarik dengan mekanika, khususnya tentang gerak planet. Ia salah seorang yang tertarik dengan publikasi Kepler dan yakin tentang teori heliosentrik. Dengan teleskopnya, Galileo berhasil menemukan satelit-satelit Galilean di Jupiter dan menjadi orang pertama yang melihat keberadaan cincin di Saturnus.
Salah satu pengamatan penting yang meyakinkannya mengenai teori heliosentrik adalah masalah fasa Venus. Berdasarkan teori geosentrik, Ptolemy menyatakan, venus berada dekat dengan titik diantara matahari dan bumi sehingga pengamat dari bumi hanya bisa melihat venus saat mengalami fasa sabit.
Tapi berdasarkan teori heliosentrik dan didukung pengamatan Galileo, semua fasa Venus bisa terlihat bahkan ditemukan juga sudut piringan venus, lebih besar saat fasa sabit dibanding saat purnama. Publikasi Galileo yang memuat pemikirannya tentang teori geosentrik vs heliosentrik, dalam Dialogue of The Two Chief World System, menyebabkan dirinya dijadikan tahanan rumah dan dianggap sebagai penentang oleh gereja.
Dasar yang diletakkan Newton
Di tahun kematian Galileo, Izaac Newton (1642-1727) dilahirkan. Bisa dikatakan Newton memberi dasar bagi pekerjaannya dan orang-orang sebelum dirinya terutama mengenai asal mula Tata Surya. Ia menyusun Hukum Gerak Newton dan kontribusi terbesarnya bagi Astronomi adalah Hukum Gravitasi yang membuktikan bahwa gaya antara dua benda sebanding dengan massa masing-masing objek dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda. Hukum Gravitasi Newton memberi penjelasan fisis bagi Hukum Kepler yang ditemukan sebelumnya berdasarkan hasil pengamatan. Hasil pekerjaannya dipublikasikan dalam Principia yang ia tulis selama 15 tahun.
Teori Pembentukan Tata Surya Sesudah Newton
Kemunculan Newton dengan teori gravitasinya menjadi dasar yang kuat dalam menciptakan teori terbentuknya Tata Surya yang lahir kemudian sampai tahun 1960. Perkembangan teori pembentukan Tata Surya, pada era setelah Newton sampai dengan tahun 1960 terbagi dalam dua kelompok pemikiran yakni teori monistik yang menyatakan bahwa matahari dan planet berasal dari materi yang sama. Sedangkan teori dualistik menyatakan matahari dan bumi berasal dari sumber materi yang berbeda dan terbetuk pada waktu yang berbeda.
Teori Komet Buffon
Tahun 1745, George comte de Buffon (1701-1788) dari Perancis mempostulatkan teori dualistik dan katastrofi yang menyatakan bahwa tabrakan komet dengan permukaan matahari menyebabkan materi matahari terlontar dan membentuk planet pada jarak yang berbeda. Kelemahan dari postulat Buffon adalah bahwa ia tidak bisa menjelaskan asal komet. Ia hanya mengasumsikan bahwa komet jauh lebih masif dari kenyataannya.
Teori Nebula Laplace (Teori Kabut)
Ada beberapa teori yang menginspirasi terbentuknya teori Laplace, dimulai dari filsuf Perancis, Renè Descartes (1596-1650) yang percaya bahwa angkasa terisi oleh “fluida alam semesta ” dan planet terbentuk dalam pusaran air. Sayangnya teori ini tidak didukung dasar ilmiah.
Seratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1775, Immanuel Kant (1724-1804) menunjukkan adanya awan gas yang berkontraksi dibawah pengaruh gravitasi sehingga awan tersebut menjadi pipih. Ide ini didasarkan dari teori pusaran Descartes, tapi fluidanya berubah menjadi gas. Setelah adanya teleskop, William Herschel (1738-1822) mengamati adanya nebula yang ia asumsikan sebagai kumpulan bintang yang gagal.
Tahun 1791, ia melihat bintang tunggal yang dikelilingi halo yang terang. Hal inilah yang memberinya kesimpulan bahwa bintang terbentuk dari nebula dan halo merupakan sisa nebula.
Dari teori-teori ini, Pierre Marquis de Laplace (1749-1827) pada tahun 1796, menyempurnakan hipotesa Immanuel Kant dan hipotesa mereka berdua lebih dikenal dengan Hipotesa Nebula Kant-Laplace. Pada tahap awal, tata surya masih berupa kabut atau awan raksasa. Awan ini terdiri gas, es dan debu yang disebut Nebula. Unsur gas, sebagian besar terdiri dari Hidrogen. Karena gaya gravitasi yang dimilikinya, kabut itu menyusut dan berputar pelan dengan arah tertentu. Pada saat terjadi keruntuhan, momentum sudut dipertahankan melalui putaran yang dipercepat sehingga terjadi pemipihan membentuk cakram datar di bagian tengahnya. Selama menyusut (kontraksi), ada materi yang tertinggal ke dalam suatu bentuk piringan, dan bersamaan dengan itu, pusat massa terus berkontraksi. Akibatnya, suhu kabut memanas dan materi di dalam awan, yang memiliki massa dominan akan runtuh, menjadi bintang raksasa yang disebut matahari. Matahari raksasa terus menyusut dan perputarannya semakin cepat.
Materi yang terlepas kedalam piringan, akan membentuk sejumlah cincin gas dan es yang terlontar di sekeliling matahari. Akibat gaya gravitasi, maka materi gas di dalam cincin akan mengelompok dan memadat (kondensasi). Seiring dengan terjadinya penurunan suhu, maka terbentuklah membentuk planet dalam yang mengitari matahari. Dengan cara yang sama, planet luar juga terbentuk.
Namun menurut Clerk Maxwell (1831-1879) letak permasalahan teori ini, cincin hanya bisa stabil jika terdiri dari partikel-partikel padat, bukannya gas. Menurut Maxwell cincin tidak bisa berkondensasi menjadi planet karena gaya inersianya akan memisahkan bagian dalam dan luar cincin. Seandainya proses pemisahan bisa terlewati, massa cincin masih jauh lebih masif dibanding massa planet yang terbentuk.
Permasalahan lain muncul dari distribusi momentum sudut dimana tidak ada mekanisme tertentu yang bisa menjelaskan bahwa keberadaan materi dalam jumlah kecil, yang membentuk planet, bisa memiliki semua momentum sudutnya. Seharusnya sebagian besar momentum sudut berada di pusat objek. Jika momentum sudut intrinsik dari materi luar bisa membentuk planet, maka kondensasi pusat tidak mungkin runtuh untuk membentuk bintang,
Penyempurnaan Teori Laplace
Tahun 1854, Edouard Roche (1820-1883) mengatakan bahwa awan yang diajukan Laplace dalam teorinya, bisa memiliki kondensasi pusat yang tinggi sehingga sebagian besar massa berada dekat spin axis dan memiliki kaitan yang kecil dengan momentum angular. Tahun 1873, Roche menyempurnakan teori Laplace dengan analisis “Matahari ditambah atmosfer & rdquo;, yang memiliki kondensasi pusat yang tinggi. Model ini berada diluar rentang planet dan mengalami keruntuhan saat mendingin. Dalam model ini atmosfer berkorotasi terhadap matahari. Saat sistem mengalami keruntuhan, kecepatan sudut bertambah untuk mempertahankan momentum sudut, sementara jarak mengecil. Jika jarak mengecil lebih cepat dari radius efektif atmosfer, maka semua atmosfer di luar jarak akan membentuk cincin.
Keberatan dari James Jeans (1877-1946). Ia menunjukkan dengan distribusi nebula yang diberikan oleh Roche, materi luar akan menjadi renggang sehingga tidak dapat melawan gaya pasang surut terhadap pusat massanya dan kondensasi tidak akan terjadi. Jeans juga mennunjukkan bahwa untuk materi di dalam cincin yang mengalir dari nebula yang runtuh menuju kondensasi, membutuhkan kerapatan yang lebih besar dari kerapatan sistem. Hal ini akan menghasilkan massa atmosfer dengan magnitudo mendekati magnitudo di pusat massa, sehingga bisa menyelesaikan permasalahan momentum sudut.
Teori Pembentukan Tata Surya Awal Abad ke-20
Perkembangan teori pementukan Tata Surya pada dekade terakhir abad ke-19 dan dekade pertama abad ke-20, didominasi oleh 2 orang Amerika yakni Thomas Chamberlin (1843-1928) dan Forest Moulton (1872-1952). Dalam membangun teorinya, mereka melakukan komunikasi secara konstan, bertukar pemikiran dan menguji ide-ide yang muncul, namun publikasi atas karya besar mereka dilakukan secara terpisah.
Teori Planetisimal
Pada tahun 1890-an, Chamberlin menawarkan solusi untuk teori nebula Laplace. Ia menawarkan adanya satu akumulasi yang membentuk planet atau inti planet (objek kecil terkondensasi diluar materi nebula) yang kemudian dikenal sebagai planetisimal. Menurut Chamberlin, planetisimal akan bergabung membentuk protoplanet. Namun karena adanya perbedaan kecepatan antara partikel dalam dan partikel luar, dimana partikel dalam bergerak lebih cepat dari partikel luar, maka objek yang terbentuk akan memiliki spin retrograde.
Walaupun ide planetesimal ini cukup baik, tetapi sejak tahun 1900, Chamberlin dan Moulton mengembangkan teori baru tentang pembentukan planet. Pada teori ini keduanya menyatakan bahwa ada materi yang terlontar dari bintang dan membentuk nebula spiral. Nebula spiral ini tidak diketahui asalnya dan berhasil dipotret oleh para pengamat. Menurut mereka, materi yang terlontar ini dapat menjadi planet yang mengitari bintang induknya. Tapi ide ini kemudian mereka tolak sendiri, karena orbit yang mereka dapatkan terlalu eksentrik/lonjong.
Chamberlin kemudian membangun teori baru yang melibatkan erupsi matahari. Ia memberikan kemungkinan bahwa spiral nebula merupakan hasil interaksi pemisahan dari bintang yang berada dalam proses erupsi dengan bintang lainnya. Teori ini membutuhkan matahari yang aktif dengan prominensa yang masif. Namun sayangnya, gaya pasang surut bintang yang berinteraksi dengan matahari hanya mampu menahan materi prominensa di luar matahari tapi tidak mampu memindahkan materi dari matahari. Untuk itu dibutuhkan jarak matahari-bintang lebih besar dari limit Roche untuk matahari dan massa masif yang lebih besar dari massa matahari untuk bintang lainnya.
Jadi ringkasnya, hipotesa Planetisimal menyatakan bahwa tata surya terbentuk akibat adanya bintang yang hampir menabrak matahari.
Teori Pasang Surut
Teori Pasang Surut pertama kali disampaikan oleh Buffon. Ia menyatakan bahwa tata surya berasal dari materi Matahari yang terlempar akibat bertumbukan dengan sebuah komet. Teori pasang surut yang disampaikan Buffon kemudian diperbaiki oleh Sir James Jeans dan Harold Jeffreys.
Astronomi Inggris, James Jeans (1877-1946) mengemukakan teorinya (1917) bahwa Tata Surya merupakan hasil interaksi antara bintang lain dan matahari. Perbedaan ide yang ia munculkan dengan ide Chamberlin & Moulton terletak pada absennya prominensa dan jumlah awal dari matahari. Menurut Jeans dalam interaksi antara matahari dengan bintang lain yang melewatinya, pasang surut yang ditimbulkan pada matahari sangat besar sehingga ada materi yang terlepas dalam bentuk filamen. Filamen ini tidak stabil dan pecah menjadi gumpalan-gimpalan yang kemudian membentuk protoplanet. Akibat pengaruh gravitasi dari bintang proto planet memiliki momentum sudut yang cukup untuk masuk kedalam orbit disekitar matahari.
Pada akhirnya efek pasang surut matahari pada proto planet saat pertama kali melewati perihelion memberikan kemungkinan bagi proses pembentukan planet untuk membentuk satelit.
Pada model ini tampaknya spin matahari yang lambat dikesampingkan, karena dianggap matahari telah terlebih dahulu terbentuk sebelum proses pembentukan planet. Selain itu tanpa adanya prominensa maka kemiringan axis solar spin dan bidang orbit matahari-bintang tidak akan bisa dijelaskan.
Tahun 1919, Jeans memperbaharui teorinya. Ia menyatakan bahwa saat pertemuan kedua bintang terjadi, radius matahari sama dengan orbit Neptunus. Pengubahan ini memperlihatkan kemudahan untuk melontarkan materi pada jarak yang dikehendaki. Materinya juga cukup dingin, dengan temperatur 20 K dan massa sekitar Ᾰ½ massa jupiter.
Harold Jeffreys (1891-1989) yang sebelumnya mengkritik teori Chamberlin-Moulton, juga memberikan beberapa keberatan atas teori Jeans. Keberatan pertamanya mengenai keberadaan bintang masif yang jarang sehingga kemungkinan adanya bintang yang berpapasan dengan matahari pada jarak yang diharapkan sangatlah kecil.
Tahun 1939, keberatan lain datang dari Lyman Spitzer (1914-1997). Menurutnya jika matahari sudah berada dalam kondisi sekarang saat materinya membentuk Jupiter maka diperlukan materi pembentuk yang berasal dari kedalaman dimana kerapatannya sama dengan kerapatan rata-rata matahari dan temperatur sekitar 106 K. Tapi jika harga temperatur ini dipakai dalam persamaan untuk massa kritis jeans, maka massa minimum Jupiter menjadi 100 kali massa Jupiter saat ini.
Teori Kondensasi (Teori Awan Debu atau Protoplanet)
Teori ini dikemukakan oleh Carl von Weizsaecker kemudian disempurnakan oleh astronom Belanda, Gerard P.Kuiper (1905-1973), pada tahun 1950. Teori proto planet menyatakan bahwa tata surya terbentuk oleh gumpalan awan gas raksasa yang mengalami pemampatan dan menarik partikel-partikel debu membentuk gumpalan bola awan. Pada saat itulah terjadi bola kabut raksasa ini berputar membentuk pilinan sehingga gumpalan bola kabut raksasa ini menjadi pipih menyerupai cakram raksasa (tebal bagian tengah dan pipih di bagian tepi).Karena bagian tengah berpilin lambat mengakibatkan terjadi tekanan yang menimbulkan panas dan cahaya(Matahari).Bagian tepi cakram berpilin lebih cepat sehingga terpecah menjadi gumpalan yang lebih kecil.Gumpalan itu kemudian membeku menjadi planet dan satelit.
Teori Bintang Kembar
Teori bintang kembar awalnya dikemukakan oleh Fred Hoyle (1915-2001) pada tahun 1956. Teori ini mengemukakan bahwa dahulunya tata surya kita berupa dua bintang yang hampir sama ukurannya dan saling berdekatan, yang salah satunya meledak meninggalkan serpihan-serpihan kecil. Serpihan-serpihan yang disebut planet-planet itu, kemudian terperangkap oleh gravitasi bintang yang tidak meledak (matahari) dan mulai mengelilinginya
Teori Capture
Teori pasang surut Jeans-Jeffreys mengajukan kalau materi yang disapu oleh bintang saat berpapasan dengan Matahari akan membentuk planet. Tahun 1964, Woolffson memperkenalkan model baru dari teori pasang surut, yang dikenal dengan nama Teori Capture. Teori yang diajukan Woolfson menyatakan kalau bintang yang berpapasan dengan Matahari yang menyediakan materi pembentuk planet yang kemudian ditangkap oleh Matahari.
Pembentukan bintang dalam gugus galaksi dalam hal ini dari pengamatan terhadap gugus muda, bintang pertama yang terbentuk memiliki massa lebih dari satu massa Matahari dan sesudah itu bintang dengan massa yang lebih kecil mulai terbentuk. Dalam lingkungan yang memiliki kerapatan cukup besar seperti pada gugus muda, interaksi antar bintang akan sering tering terjadi – ini merupakan interaksi yang memberikan cukup energi bagi bintang tunggal untuk melepaskan diri dari gugus tersebut, yang kemudian dihamburkan dan membentuk bidang bagi bintang. Bentuk interaksi yang diajukan Woolfson, melibatkan Matahari dalam kaitannya untuk pembentukan Tata Surya dan protobintang dengan massa yang lebih kecil yang baru terbentuk dan masih berada dalam kondisi mengembang dan terhambur.
Dalam interaksinya, proto bintang akan bergerak dalam orbit hiperbola relative terhadap Matahari dan melewatinya dalam batas jarak Roche sehingga terjadi penghamburan atau pemisahan materi dari protobintang tersebut. Pada saat berpapasan, filament dari protobintang akan disapu keluar pada kondisi tidal bulge (betuk ellipsoid pada bintang yang terjadi akibat besarnya gaya pasang surut di ekuator) yang ekstrim dan ketidakstabilan gravitasi menyebabkan filamen pecah dalam beberapa rangkaian kondensasi. Garis kerapatan filamen cukup tinggi sehingga setiap blob (gumpalan) akan memiliki massa melampaui massa kritis Jeans dan blob akan saling berkontraksi membentuk protoplanet.
Protoplanet terbentuk pada orbit bereksentrisitas (kelonjongan) tinggi antara 0,7 – 0,9 dan jarak terjauh (aphelion) memiliki rentang lebih dari 100 AU. Protoplanet membutuhkan waktu dari puluhan sampai ratusan tahun untuk berkondensasi sebelum mereka harus memulai fasa menyelamatkan diri dari gaya pasang surut pada saat memasuki perihelion (jarak terdekat dengan Matahari). Proses kondensasi protoplanet memberi kesempatan pada protoplanet untuk membentuk planet mayor sementara gaya pasang surut justru membuatnya mengembang, tertarik dan materi terluar terutama di daerah tidal bulge, akan memperoleh spin momentum sudut. Keruntuhan protoplanet terjadi dan meninggalkan materi di bagian tidal bulge. Materi di bulge akan membentuk filamen dengan kumpulan blob tunggal yang kemudian akan membentuk satelit.
Beberapa keberatan tehadap teori capture adalah ia merupakan bagian dari teori dualistic yang membutuhkan mekanisme lain untuk bisa menjelaskan spin Matahari yang lambat. Pembentukan satelit dalam teori capture melalui keruntuhan protoplanet masih harus dibuktikan lagi.
Perbedaan esensial antara model capture dan model Jeans :
- Materi yang datang dari proto bintang, ditangkap oleh bintang yang terkondensasi.
- Materi yang membentuk planet, merupakan materi yang dingin, sehingga meniadakan
keberatan yang diajukan terhadap teori pasang surut Jeans
- Pada saat interaksi proto bintang memiliki radius sekitar 20 AU dan jarak aphelion orbitnya
sekitar 40 AU. Jarak ini yang kemudian diadaptasi sebagai skala Tata Surya.
Teori Big Bang
Pembentukan bintang dalam gugus galaksi dalam hal ini dari pengamatan terhadap gugus muda, bintang pertama yang terbentuk memiliki massa lebih dari satu massa Matahari dan sesudah itu bintang dengan massa yang lebih kecil mulai terbentuk. Dalam lingkungan yang memiliki kerapatan cukup besar seperti pada gugus muda, interaksi antar bintang akan sering tering terjadi – ini merupakan interaksi yang memberikan cukup energi bagi bintang tunggal untuk melepaskan diri dari gugus tersebut, yang kemudian dihamburkan dan membentuk bidang bagi bintang. Bentuk interaksi yang diajukan Woolfson, melibatkan Matahari dalam kaitannya untuk pembentukan Tata Surya dan protobintang dengan massa yang lebih kecil yang baru terbentuk dan masih berada dalam kondisi mengembang dan terhambur.
Dalam interaksinya, proto bintang akan bergerak dalam orbit hiperbola relative terhadap Matahari dan melewatinya dalam batas jarak Roche sehingga terjadi penghamburan atau pemisahan materi dari protobintang tersebut. Pada saat berpapasan, filament dari protobintang akan disapu keluar pada kondisi tidal bulge (betuk ellipsoid pada bintang yang terjadi akibat besarnya gaya pasang surut di ekuator) yang ekstrim dan ketidakstabilan gravitasi menyebabkan filamen pecah dalam beberapa rangkaian kondensasi. Garis kerapatan filamen cukup tinggi sehingga setiap blob (gumpalan) akan memiliki massa melampaui massa kritis Jeans dan blob akan saling berkontraksi membentuk protoplanet.
Protoplanet terbentuk pada orbit bereksentrisitas (kelonjongan) tinggi antara 0,7 – 0,9 dan jarak terjauh (aphelion) memiliki rentang lebih dari 100 AU. Protoplanet membutuhkan waktu dari puluhan sampai ratusan tahun untuk berkondensasi sebelum mereka harus memulai fasa menyelamatkan diri dari gaya pasang surut pada saat memasuki perihelion (jarak terdekat dengan Matahari). Proses kondensasi protoplanet memberi kesempatan pada protoplanet untuk membentuk planet mayor sementara gaya pasang surut justru membuatnya mengembang, tertarik dan materi terluar terutama di daerah tidal bulge, akan memperoleh spin momentum sudut. Keruntuhan protoplanet terjadi dan meninggalkan materi di bagian tidal bulge. Materi di bulge akan membentuk filamen dengan kumpulan blob tunggal yang kemudian akan membentuk satelit.
Beberapa keberatan tehadap teori capture adalah ia merupakan bagian dari teori dualistic yang membutuhkan mekanisme lain untuk bisa menjelaskan spin Matahari yang lambat. Pembentukan satelit dalam teori capture melalui keruntuhan protoplanet masih harus dibuktikan lagi.
Perbedaan esensial antara model capture dan model Jeans :
- Materi yang datang dari proto bintang, ditangkap oleh bintang yang terkondensasi.
- Materi yang membentuk planet, merupakan materi yang dingin, sehingga meniadakan
keberatan yang diajukan terhadap teori pasang surut Jeans
- Pada saat interaksi proto bintang memiliki radius sekitar 20 AU dan jarak aphelion orbitnya
sekitar 40 AU. Jarak ini yang kemudian diadaptasi sebagai skala Tata Surya.
Teori Big Bang
Teori Big Bang menyatakan bahwa jagat raya dimulai dari satu ledakan besar dari materi yang densitasnya luar biasa besar. Impilikasinya jagat raya punya awal dan akhir. Teori ini terus-menerus dibuktikan kebenarannya melalui sejumlah penemuan, dan diterima oleh sebagian besar astrofisikawan masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar